Teman-teman yang aktif menyuarakan
isu lingkungan pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya COP atau Conference
of the Parties. Namun untuk kamu yang belum tahu, maka untuk itulah tulisanku
kali ini akan membahas beberapa aspek tentang COP dimulai dari sejarah
pembentukan, tujuan, timeline serta highlight dari beberapa COP
yang sekiranya signifikan dan sedikit rangkuman kesepakatan COP 28 yang
baru-baru ini dilaksanakan.
Pengertian COP
Sebelum masuk ke bagian inti,
sebagai intermezzo, aku akan coba uraikan secara singkat apa sih COP
itu. Jadi, COP atau singkatan dari Conference
of the Parties, atau jika diartikan lagi ke dalam Bahasa Indonesia berarti Konferensi
Para Pihak, merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Kegiatan COP tahun ini
diadakan di Dubai, Uni Emirat Arab yang ditahun sebelumnya dilaksanakan di Sharm
el-Sheikh, Mesir.
Napak tilas terbentuknya COP
Kalau ingin melihat sejak awal
terbentuknya, maka awal dari COP ini adalah ketika Organisasi
Meteorologi Dunia (WMO) dan Program Lingkungan PBB (UNEP) membentuk Panel Antar Pemerintah
tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 1988. Long story
short, pada tahun 1990 Majelis umum PBB membentuk Komite Negosiasi
Antarpemerintah (INC) untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau UNFCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change). Proses berdirinya COP
sendiri merupakan hasil akhir dari terbentuknya UNFCC di tahun tersebut.
Setelah UNFCC resmi diadopsi oleh
United Nations Headquarters di New York pada Mei 1992 yang kemudian disahkan
pada bulan Juni, di tahun yang sama bertepatan dengan KTT Bumi atau Earth
Summit di Rio de Janeiro, Brazil, barulah pada tanggal 21 Maret 1994 UNFCC
resmi berlaku. Hal ini ditandai dengan penandatanganan oleh negara-negara yang berkomitmen
terlibat didalamnya. Nah negara-negara inilah yang selanjutnya dikenal sebagai
‘parties’ atau ‘pihak-pihak’ yang terikat oleh perjanjian dalam UNFCC. Dari
sinilah istilah COP atau Conference of the Parties atau Konferensi
Para Pihak muncul, yang lebih kurang maknanya merujuk pada konferenesi
atau pertemuan tahunan yang dihadiri oleh anggota parties.
Tujuan COP dalam UNFCC
Lantas ketika para parties tadi
sudah ‘berkumpul’ setiap tahunnya, apa saja yang akan mereka bahas? Secara
umum, negara-negara yang berkomitmen dalam COP akan membahas tujuan utama dari
UNFCC yang telah dirumuskan pada tahun 1992, yaitu langkah-langkah strategis
untuk melawan perubahan iklim yang mencakup; mencegah agar suhu rata-rata
global tidak meningkat dan menekan dampak yang sudah ‘terlanjur’ terjadi.
Perjalanan panjang 25 tahun COP
Untuk bagian ini, aku akan coba
singkat dengan merinci timeline penting yang menghasilkan negosiasi atau
putusan yang punya dampak signifikan.
Setelah UNFCC resmi terbentuk pada
tahun 1994, di tahun berikutnya, tepatnya pada bulan April 1995, the parties
resmi melakukan konferensi atau COP yang pertama di Berlin, Jerman, yang
saat itu dipimpin langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Angela Merkel.
Para parties saat itu setuju bahwa komitmen yang telah disepakati
sebelumnya tidak mampu memenuhi target UNFCC hingga menghasilkan apa yang
disebut dengan The Berlin Mandates yang isinya lebih kurang adalah
sebuah negosiasi untuk memperkuat respon negara-negara maju terhadap isu
perubahan iklim. Negosiasi inilah yang pada tanggal 11 Desember 1997 –bersamaan
dengan pelaksanaan COP yang ketiga di Kyoto, Jepang, diadopsi didalam Protokol
Kyoto (Kyoto Protocol).
Protokol Kyoto secara hukum ‘mengikat’
parties dari negara-negara maju pada target penurunan emisi. Periode
komitmen pertama Protokol ini dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun
2012. Periode komitmen kedua dimulai pada tanggal 1 Januari 2013 dan berakhir
pada tahun 2020.
Hasil kesepakatan COP 28
Sebelum membahas hasil dari COP 28,
ada baiknya kita flashback sekilas ke pelaksanaan COP 27 tahun lalu. Beberapa hasil yang
dirilis oleh panitia COP 27 kala itu adalah di bidang teknologi; COP27
meluncurkan program kerja lima tahun untuk mempromosikan solusi teknologi iklim
di negara-negara berkembang sedangkan untuk aksi mitigasi sendiri,
keadaan krisis energi secara global yang belum pernah terjadi sebelumnya meng-highlight
pentingnya transisi ke sistem energi yang lebih aman, andal, dan tangguh.
Program mitigasi ini bertujuan untuk meningkatkan ambisi dan implementasi
mitigasi itu sendiri. Setiap pemerintah negara diminta untuk meninjau
dan memperkuat target 2030 dalam rencana iklim nasional pada akhir 2023, serta
mempercepat upaya menghentikan secara bertahap tenaga batu bara dan menghapus
subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.
Namun diluar hal tersebut, mayoritas
pihak menyayangkan hasil COP 27 tahun lalu karena walaupun telah diketahui
bahwa bahan bakar fosil merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi global, fokus
kesepakatan bisa dibilang hanya berputar-putar pada pernyataan ‘penghentian
penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dan subsidi bahan bakar fosil
yang tidak efisien’ tanpa menyinggung sedikitpun tentang bahan bakar minyak dan
gas. Oleh karenanya, kesepakatan yang dihasilkan pun dinilai masih jauh dari
target. Bahkan bisa dikatakan kalau hasil akhir dari COP 27 tetap memberi ‘lampu hijau’ terhadap penggunaan bahan bakar
fosil karena secara tidak langsung menyebutkan manfaat bahan bakar fosil tadi,
yaitu minyak dan gas –sebagai bentuk transisi, dengan menggunakan istilah
‘natural gas’.
Lantas, bagaimana dengan COP 28
tahun ini? Apakah hasilnya juga sama ‘mengecewakannya’ dengan COP 27?
COP
28 berlangsung
selama dua pekan dimulai dari tanggal 30 November sampai dengan 12 Desember
2023. Berdasarkan press release-nya, yang menjadi highlight dari
COP 28 kali ini adalah “beginning of the end” atau awal dari berakhirnya
era bahan bakar fosil yang ditandai dengan target yang transisi yang lebih
cepat, adil, dan merata, melalui upaya pengurangan emisi dan peningkatan skema
pendanaan. Pada keseluruhan kesepakatan yang dibahas, ada dua poin penting yang
menjadi perhatian utama, yaitu pendanaan untuk loss and damage dan
transisi energi fosil.
Dana loss and damage atau dana kehilangan dan kerusakan akibat krisis
iklim, adalah dana yang dimaksudkan untuk diberikan kepada negara-negara
berkembang yang dinilai sebagai ‘korban’ dari negara-negara maju penghasil ecmisi
tinggi. COP 28 kemarin menyepakati penggalangan dana sebesar US$ 80 miliar,
yang sebenarnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kesepakatan awal di
COP 27 Mesir, yaitu sebesar US$ 100 miliar. Pun menurut beberapa perkiraan,
jika dibandingkan dengan total kerugian akibat perubahan iklim yang sudah
mencapai $400 miliar (Rp6.202 triliun) setiap tahun untuk
negara-negara berkembang, tentu angka US$ 80 miliar masihlah sangat jauh.
Angka nominal yang disepakati
tersebut pun ternyata masih menyisakan beberapa pertanyaan seperti besaran dana, mekanisme
penggunaan dalam jangka panjang serta tingkat prioritas penggunaannya. Selain
karena pendanaan yang menurut sebagian besar analis masih sangat jauh dari yang
seharusnya, kekhawatiran lain adalah bagaimana transparansi operasional oleh World
Bank dalam mengelola pendanaan tersebut dan bagaimana menjaga ekspektasi
terhadap ‘janji’ tersebut sebagai ‘setoran uang fisik’ mengingat pendanaan yang
lebih kurang bentuknya mirip pun pernah disepakati, yaitu Green Climate Fund.
Dana yang disepakati pada 2009 ini dirancang untuk membantu negara-negara
berkembang untuk beralih ke bahan bakar fosil dan membantu langkah adaptasi
iklim. Dana yang merupakan bentuk komitmen negara-negara maju untuk
menyediakan $100 miliar per tahun pada 2020. Namun, sayangnya, mereka pun
gagal mencapai tujuan ini.
Poin yang kedua adalah transisi energi fosil yang ternyata masih berkaitan
dengan kampanye ‘stop energi fosil’ pada COP 26 di Glasgow 2021 silam. COP 28
kembali mengangkat tema tersebut untuk ‘menagih’ komitmen para parties
terkait penurunan emisi global atau global stocktake yang kian hari
makin urgen untuk dipenuhi agar suhu rata-rata bumi tidak meningkat lebih dari
1,5°C. Negara Eropa seperti negara Denmark dan Norwegia, yang mendukung
kesepakatan untuk segera meninggalkan energi fosil. Namun di satu sisi hadirnya
lebih kurang 1.500 ‘pelobi’ dan petinggi industri bahan bakar fosil, baik itu
batu bara, minyak, dan gas bumi, pada akhirnya berhasil mencegah peralihan
total dari ketiga sumber energi kotor tersebut.
Seruan untuk segera bertransisi ke
energi terbarukan ini menekankan kepada parties untuk lebih ambisius
dalam meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat per tahun 2030. Rachel
Cleetus, Direktur Kebijakan di Union of Concerned Scientists, mengapresiasi
kesepakatan yang dibuat. Namun menurutnya, itu belum cukup ambisius untuk
‘mengikat’ negara-negara maju terutama dalam hal membantu pembiayaan
negara-negara berkembang untuk segera beralih ke sumber energi terbarukan.
My opinion
Terkait, dana loss and damage, karena posisi saya sebagai pihak’luar’ yang benar-benar tidak bisa terlibat langsung maka tentu pertanyaan-pertanyaan yang pastinya mengarah kepada kekhawatiran pastilah ada. Apalagi setelah mengetahui bahwa dana ini operasionalnya dilakukan oleh pihak global yaitu World Bank. Tentu posisi kita yang bukan apa-apa ini tidak punya wewenang apapun untuk turut andil. Bahkan (in my opinion ya) sekelas Menteri atau presiden yang tidak cukup punya jaringan dalam organisasi global tersebut pun tidak mampu bergerak leluasa. Cara paling ampuh ya paling tidak harus jadi bagian organisasi tersebut biar bisa benar-benar paham bagaimana sih tata Kelola sebuah pendanaan untuk kepentingan lingkungan.
Terkait peralihan energi fosil ke energi terbarukan, beberapa pertimbangan negara (bisa jadi) salah satunya adalah luas wilayah dan kepadatan penduduk, yang merupakan sedikit faktor, mengapa pendanaan untuk transisi energi bisa sangat membengkak. Namun tentu saja, biaya instalasi teknologi, pemeliharaan, dan lainnya juga menjadi faktor utama. Contoh paling relevan adalah negara kita. Menurut Kepala Sekretariat JETP (Just Energy Transition Partnership), Edo Mahendra, dalam peta jalan roadmap Indonesia menuju transisi energi, Indonesia membutuhkan pendanaan lebih kurang US$ 97,3 miliar atau setara 1.500 triliun (asumsi kurs Rp 15.454 per US$) hingga tahun 2030.
0 comments:
Posting Komentar